ORANG MUDA KATOLIK
BERPOLITIK ???
 |
Sumber : google.com |
Sejarah
Indonesia 1965 mencatat, aktivis muda Katolik dalam jagad perpolitikan,
sosok Soe Hok Gie, Harry Tjan Silalahi, Cosmas Batubara, dan lain-lain
turut ambil bagian dalam sejarah bangsa. Sosok Soe Hok Gie, demonstran,
tokoh muda kritis, non partisan, non ormasan, kolomnis, tionghoa
menyuarakan suara-suara kritis kepada bangsa. Termasuk kritis kepada
teman-teman aktivis Katolik yang masuk parlemen adalah suatu pilihan dan
gaya berpolitik. Sosok Harry Tjan Silalahi, Cosmas Batubara, tokoh
politik muda Katolik, demonstran yang menerima tawaran masuk parlemen
adalah suatu pilihan dan gaya berpolitik.
Bagaimana Sekarang?
Secara
umum kita kehilangan musuh bersama, sehingga gerakan tidak fokus, kerja
sporadis, dan kerja sendiri-sendiri. Dalam kehidupan dengan orang muda
Katolik, khususnya di Surabaya, ada tegangan dalam memandang politik. Di
satu sisi banyak kawan muda Katolik kita yang terlalu takut, “cenderung
apriori” kepada dunia politik. Hal ini disebabkan pertama, minimalnya
pendidikan dan pengetahuan politik. Kedua, terbatasnya pergaulan dan
komunikasi dengan tokoh-tokoh politik (masyarakat). Ketiga, praktik
politik yang kotor, haus kekuasaan, rawan konflik, rawan korupsi dan
lain sebagainya yang beredar luas dalam masyarakat turut mempengaruhi
cara pandang mereka.
Di
sisi lain, ada sedikit kawan yang memandang politik sebagai ruang peran
yang bisa dimanfaatkan demi kepentingan umum termasuk di dalamnya
menyalurkan kepentingan Katolik. Mereka diilhami pemikir besar yang
mengatakan politik itu mulia. Ada beberapa kawan muda Katolik yang
terlibat politik, saat ini menjadi anggota DPRD, ada pula yang berjuang
dalam wadah politik lainnya
Dikotomi
Kita
sering merasakan umat Allah, termasuk orang muda Katolik terlalu
memisahkan (dikotomis), wilayah hierarki gereja adalah suci, dunia
termasuk politik adalah kotor. Cara pandang kita terhadap persoalan
gereja yang suci, dan dunia (politik) yang kotor membuat kita semakin
rancu.
Kita
perlu diingatkan pelaku sejarah dua wilayah adalah manusia. Selama
manusia yang melakukan fungsi-fungsi itu selalu ada nilai baik atau
buruk. Sangat tergantung moralitas manusia yang mengemban titah itu.
Sesuci-sucinya
gereja, jika moralitas pimpinan tak bisa dipertangunggungjawabkan. Yang
namanya korupsi, kolusi, nepotisme, penyelewengan jabatan dan seksual
dan lain sebagainya bisa saja terjadi. (itu tercatat dalam sejarah).
Demikian
pula, sebaik-baiknya sistem pemerintahan kita, jika moralitas pimpinan
tak bisa dipertangunggungjawabkan, yang namanya korupsi, kolusi.
Nepotisme, penyelewengan jabatan dan seksual dan lain sebagainya bisa
juga terjadi.
Bagaimana
menyikapi tegangan dan dikotomi ini? Perlu dipetakan dahulu wilayah
itu. Pertama, kebanyakan kawan muda Katolik yang tidak terbiasa dengan
kehidupan politik adalah dari kalangan muda yang tidak aktif dalam
organisasi kemahasiswaan/kepemudaaan. Kebanyakan mereka menikmati masa
muda tanpa organisasi atau organisasi lokal misal KMK, Mudika, dan
lain-lain. Mereka terbiasa dilatih jadi kader gereja tetapi minimal
dipersiapkan dalam wilayah publik. Namun, saya juga mendapati sedikit
kader gereja yang tak kenal ormas, justru lebih energik dan kritis hal
ini terkait pergaulan dan komunikasi dengan tokoh-tokoh politik
tertentu.
Kedua,
kebanyakan cikal bakal peminat politik adalah kaum muda Katolik jebolan
organisasi kemahasiswaan/kepemudaan baik yang agamis ataupun sekuler.
PMKRI, GMNI, PMII, Pemuda Katolik, LMND dan lainnya menyumbang besar
bagi kaum muda Katolik peminat politik. Namun, tidak semua kaum muda
Katolik lulusan organisasi itu politis, ada juga yang apolitis.
Di
samping itu, kita mendapati fakta ormas kader Katolik sering bertempur
internal yang kurang produktif. Ada Ormas Katolik mandeg dihuni terlalu
lama (ada yang puluhan tahun) kader sendiri. Terlalu banyak dalih
dikemukakan, terlalu banyak kepentingan sesaat dimainkan. Akhirnya ormas
kemahasiswaan/kepemudaan Katolik semakin sepi peminat. Lalu siapa yang
bakal jadi kader politik kita?
Ketiga,
lembaga ”kaderisasi bayang-bayang” Katolik turut menyumbang lahirnya
peminat politik. Mengingat bidang garapan yang berorientasi kepemimpinan
dan kekuasaan publik, kader lembaga ini masih cukup bisa
diperhitungkan.
Keempat,
masih konsistennya lembaga kader pastor. Kebanyakan umat Katolik
merasakan wilayah seminari dan pastor adalah wilayah suci agama Katolik.
Umat menganggap wilayah ini bebas politis, kaum muda Katolik pun tidak
sadar bahkan mengganggap gereja tidak bermain politik. Justru dengan
konsisten pada wilayah itu gereja semakin politis. Gereja melanggengkan
kekuasaan di tanah air. Gereja Katolik sudah mempersiapkan kader politik
internal yang bakal mengisi kekuasaannya.
Ini
wacana dan praktik supaya umat tidak terlalu apolitis (benci politik
dan lain sebagainya). “Ini mungkin menyinggung hierarki, namun jangan
marah.” Sebenarnya Jauh hari Gereja berpolitik,
namun kadang umat kurang menyadarinya. Contoh lagi gereja berusaha
mensejahterakan umat dengan sekolah, gerakan credit union atau lewat PSE
(pengembangan sosial ekonomi) adalah salah satu politik gereja.
Melihat
peta itu, kita punya sikap, pertama, wilayah politik perlu dimasuki
generasi muda Katolik. Mengingat, kita punya tanggung jawab bersama
menciptakan kesejahteraaan dan perdamaian bagi semua orang. Wilayah itu
bukan wilayah tabu untuk dimasuki. Kita sering mengkambinghitamkan
politik sebagai wilayah jahat, namun sejatinya segala wilayah kehidupan
baik itu sosial, ekonomi, agama dan lain sebagainya juga mempunyai
sisi-sisi suram. Tugas kita adalah menjadikannya cemerlang.
Kedua,
hendaknya basis intelektual dan iman melandasi kita dalam berpolitik.
Sebab tanpa intelegensia dan iman yang memadai kita gampang terperosok
dalam bayang-bayang politik yang bisa didesain kotor.
Ketiga,
Politik bukan sekedar wacana tetapi gabungan wacana dan praktik. Oleh
sebab itu, kaum muda Katolik perlu didorong terlibat secara aktif
sehingga pada saatnya siap menjadi kader dan leader di setiap lini.
Kendaraan
Inilah
yang menjadi pokok keprihatinan kita, dulu era 1960 Katolik punya akses
langsung kepada Partai Katolik, tetapi semenjak fusi tahun era 1970-an
ke dalam PDI. Umat kita mengalami kebimbangan. Secara sejarah, umat
Katolik dekat partai berbasis nasionalis, seperti PDI dan turunannya.
Kita
perlu menyalurkan orang muda Katolik ke partai yang memungkinkan bisa
masuk partai berbasis nasionalis PDIP, Golkar, Demokrat dll bisa
dipertimbangkan. Partai berbasis Islam terbuka seperti PKB dan PAN juga
pantas diperhitungkan.
Profesi
Sejatinya
orang muda Katolik dihadapkan pada masalah keprofesian dirinya dan
persoalan perut (masa depan). Kaum muda perlu berusaha sekuat tenaga dan
pikirannya untuk memberdayakan dirinya ini. Kaum muda Katolik
diharapkan berisi secara rohani dan materinya.
Secara
profesi, kaum muda diarahkan menjadi banyak profesi tergantung
cita-cita dan realitanya, ada yang diarahkan jadi pengusaha, dokter,
insinyur, jaksa, hakim, tentara, polisi, birokrat, dosen, peneliti,
pengacara dan lain-lain.
Jika suatu saat nanti disambungkan dengan dunia politik, kaum muda kita relatif nyambung baik,
dan siap. Hal ini semakin baik apabila gereja yang menaungi,
mempersiapkan generasi mudanya dengan bekal
keduniaan/keprofesian/keintelektualan. Niscaya kader-kader muda gereja
semakin diperhitungkan. Ada mutualisme yang saling menguntungkan, kaum
muda berusaha dan bergerak demi masa depannya, gereja ambil bagian
konkret dalam karya dunia yang lebih konkret pula.
Penulis : Kanisius Karyadi